Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Senin (2/9/2024) yang mencatat bahwa IHK untuk Agustus 2024 mengalami deflasi sebesar 0,03% secara bulanan (month-to-month/mtm). Deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan harga makanan, minuman, dan tembakau dengan andil sebesar 0,15%. Meskipun demikian, secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi masih tercatat 2,12%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Menurut Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan harga makanan, minuman, dan tembakau dengan andil deflasi mencapai 0,15%. Secara khusus, kategori ini mencatat deflasi sebesar 0,52%, menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam harga komoditas pangan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh melimpahnya pasokan pangan akibat panen yang baik, terutama setelah faktor El Niño yang mempengaruhi produksi di awal tahun mulai mereda.
Deflasi selama empat bulan berturut-turut menjadi sinyal pelemahan daya beli masyarakat. Kondisi ini mengingatkan pada periode 1999, ketika deflasi berlangsung selama delapan bulan, sebagai dampak dari krisis ekonomi 1997/1998. Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang, menyoroti bahwa deflasi saat ini didorong oleh penurunan harga makanan yang bergejolak akibat normalisasi produksi pangan.
Selain itu, PMI Manufaktur Indonesia mencatat kontraksi dua bulan beruntun, dengan angka Agustus 2024 sebesar 48,9, turun dari 49,3 pada bulan sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan penurunan output dan pesanan baru di sektor manufaktur, yang semakin mengkhawatirkan di tengah penurunan daya beli masyarakat. Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal, memperkirakan bahwa lemahnya industri manufaktur ini akan terus berlanjut hingga akhir kuartal III-2024. Sementara itu, Presiden Jokowi belum memberikan pernyataan terkait kondisi ini, meskipun sinyal pelemahan ekonomi semakin jelas terlihat.
Kelas menengah di Indonesia juga mengalami penurunan sejak masa krisis Pandemi Covid-19, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2019, jumlah kelas menengah di Indonesia tercatat sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah ini menurun menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya, ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.
Sementara itu, data menunjukkan kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta orang atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk pada 2024. Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak, dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024.
Selain turun kelas, penduduk kelas menengah di Indonesia juga rentan miskin selama 10 tahun terakhir. Tercermin dari modus pengeluaran penduduk kelas menengah yang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya. Hal ini mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas dan rentan untuk jatuh ke kelompok aspiring middle class atau kelompok kelas menengah rentan, bahkan rentan miskin.